ansorgenteng.blogspot.co.id

ansorgenteng.blogspot.co.id

Selasa, 21 Februari 2017

Transformasi nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah

Oleh: Abdul Kholiq Syafa’at*
Ahlussunnah wal jama’ah yang kemudian disingkat Aswaja adalah ajaran murni yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasullullah SAW bersama para sahabatnya. Sebagian orang mendefinisikan, Aswaja ini adalah Manhaj al-fikr, atau metode berpikir yang mencakup segala aspek dan dimensi kehidupan dengan dasar at-Tawassut, al-I’tidal, at-Tawazun dan at-Tasamuh.
Dalam sebuah hadist disebutkan, Rasulullah SAW mengatakan umatku akan tergolong-golong menjadi 73 golongan. Dari jumlah golongan itu yang selamat adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian Rasulullah ditanya sahabat, siapa Ahlussunnah wal Jamaah itu ya Rasulullah? Dan Rasulullah menjawab, “Maa ana ‘alaihi wa ash-haabii”, yang terjemahan harfiahnya “ apa yang aku berada di atasnya bersama sahabatku”
Aswaja timbul tidak hanya  karena konflik masalah theologi, dengan munculnya beberapa aliran yang berkembang seperti Syi’ah, Khawarij,  Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Akan tetapi,  juga karena memang mulai  menjauhnya umat dari ajaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW dan para para sahabatnya. Dan Aswaja ini, mengajak umat untuk kembali kepada ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.
Aswaja tidak boleh diartikan  sempit yang hanya difokuskan dalam satu bidang seperti theologi dengan menganut Abu Hasan al-Asyari yang dikenal dengan aliran al-Asyariyah, dan Abu Mansur al- Maturidi yang dikenal dengan aliran al-Maturidiyah. Aswaja adalah ajaran Islam yang murni yang sesuai dengan ajaran-ajaran Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Dan karakter yang diajarkanya, merupakan karakter dari agama Islam sendiri.
Ada tiga pilar yang menjadi karakter ajaran agama Islam yang diajarkan dalam al-Qur’an, at-Tawassut yang berarti pertengahan, yg berasal dari firman Allah SWT. QS. al-Baqarah: 143; al-I’tidal yang berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan-kananan juga tidak ke kiri-kirian, diambil dari QS. al-Maidah:9; at-Tawazun berarti keseimbangan. Tiga pilar tadi merupakan pijakan untuk bersikap secara moderat dalam seluruh aspek kehidupan, baik aspek politik, sosial, agama, dan budaya.
Berpikir dan bertindak dengan tiga prinsip dasar tadi, akan membuahkan sikap moderat, tentu bukan berarti harus menjustifikasi dan mengkompromi, serta membenarkan segala hal. Juga bukan berarti menolak serta mengucilkan diri dari segala macam problimatika. Tapi, itu diartikan sebagai kebaikan dalam segala hal dari dimensi kehidupan yang berada diantara dua ujung tatharruf (ekstrimisme).
Transformasi Nilai Aswaja
Problematika terkait dengan epistimologi Aswaja, dan salah satu reaksi atas timbulnya faham Aswaja seperti perdebatan masalah theologi antara Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan diikuti munculnya aliran al-Asyariyah dan al-maturidiyah, tidak harus menjadi halangan untuk mentransformasikan nilai-nilai Aswaja dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Justru yang lebih penting dalam kontek kekinian, bagaimana seharusnya nilai-nilai Aswaja bisa ditransformasikan secara lebih luas yang meliputi bidang ilmu pengetahuan,  teknologi, ekonomi, hubungan sosial indifidu, dan masyarakat.
Juga dalam masalah keagamaan seperti dalam bidang Aqidah berupa keseimbangan mengaplikasikan dalil aqli (rasional ) dan dalil naqli (al-Qur’an dan al-Hadist). Bidang syariah seperti dalam  dalil dhonni masih adanya ruang perbedaan pendapat, terutama bidang khuluqiyyah seperti sifat dermawan adalah berada di antara sifat bahil dan boros.
Bagamana kita bisa menggeser perdebatan spikulatif ke perdebatan yang aplikatif, yang banyak ditunggu oleh kaum nahdiyin. Hal ini penting di lakukan, mengingat saat ini kaum nahdiyyin banyak berposisi menjadi maf’ul (obyek) dari pada menjadi fa’il (sobyek), baik dalam bidang keagamaan maupun bidang-bidang yang lain. Diskusi tentang Aswaja harus terus dilakukan, tapi harus bertujuan untuk mempelajari secara mendalam dan luas makna sebenarnya Aswaja, tidak justru diskusi yang digelar malah menjauhkan dari pemahaman umat yang pada gilirannya menjadikan umat semakin bingung.
Banyak masalah yang mendesak dan harus dipotret dengan Aswaja,  sehingga nanti tidak menjadi kegamangan di masyarakat, karena masalah-masalah tersebut bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat, terlebih masalah ini berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat, seperti masalah Ahmadiyah. Bagi kaunm nahdiyyin, melihat dari perspektif Aswaja baik dari aspek aqidah, ahlaq, fiqih, dan aspek- aspek lain menjadi penyempurna sebuah solusi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by AnsorGenteng Online