“Wahai masyarakat arab, tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jam’ah kecuali dengan kepemimpinan, tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. ” (Umar Bin Khattab RA)
Kalimat Umar bin Khattab di atas menegaskan pentingnya berjamaah, sampai-sampai dikatakan bahwa tidak ada Islam kecuali dengan jamaah. Kalimat selanjutnya adalah tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan, yang berarti bahwa dalam suatu jamaah diharuskan adanya seorang pemimpin yang mengorganisir dan mengatur jamaah tersebut. Dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Kalimat terakhir ini menyatakan bahwa dalam suatu jamaah, orang yang dipimpin harus taat akan tetapi dengan catatan taat dalam hal-hal yang tidak melanggar larangan Allah SWT.
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Siyasah syar’iyyah menegaskan pentingnya kepemimpinan umat Islam. Kepemimpinan adalah satu diantara kewajiban-kewajiban agama yang terbesar, bahkan agama tidak bisa tegak tanpa adanya kepemimpinan.
Jama’atul Muslimin diartikan sebagai sekumpulan ulama’ (ahlul aqdi wal hilli) yang bersepakat untuk mengangkat seorang pemimpin (khalifah) umat, dan umat pun mengikuti mereka. Jama’atul Muslimin ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tubuh kaum muslimin. Karena dengan adanya jama’atul muslimin, maka hak-hak kaum muslimin untuk hidup damai dan sejahtera bisa terwujudkan. Salah satu hadits yang menunjukkan tentang pentingnya jama’atul muslimin ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Umar bin Khattab dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, “Umar pernah berkhutbah di hadapan manusia, “Barangsiapa di antara kamu menginginkan kenikmatan surga, maka hendaklah ia senantiasa berkomitmen dengan jamaah. ” (Menuju Jama’atul Muslimin, Hal 41)
Dari Umamah al-Bahil, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, “Sendi-sendi Islam akan runtuh satu demi satu; setiap kali satu sendi runtuh, akan diikuti oleh sendi berikutnya. Sendi Islam yang pertama kali runtuh adalah pemerintahan, dan yang terakhir adalah shalat” (Ahmad).
Puncak kemunduran politik Islam terjadi ketika runtuhnya Khilafah Turki Utsmani tahun 1924 oleh Musthafa Kamal at-Taturk. Setelah itu, banyak bermunculan gerakan-gerakan Islam dengan semangat memunculkan kembali kejayaan Islam. Gerakan-gerakan ini hanyalah sebagai sarana untuk mencapai kejayaan Islam, untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Tidak penting gerakan apakah mereka, apa nama kelompok mereka, dan apa baju mereka selama tujuannya tetap sama.
Di Indonesia, ada banyak gerakan dakwah skala nasional. Beberapa diantara nya seperti Muhammmadiyah, Nadhlatul Ulama (NU), dan Persatuan Serikat Islam (Persis). Sedangkan dalam skala Internasional seperti Jamaah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir (HT), Salafi, dan Ikhwanul Muslimin (IM). semua gerakan ini memiliki pemimpin masing-masing.
Semua gerakan ini esensi nya adalah sama, yaitu mengembalikan khilafah Islamiyah dan mengembalikan kejayaan Islam. Walaupun dengan cara dan gerak yang berbeda-beda. Ada, yang bergerak lewat dakwah ke pelosok dan masjid-masjid, ada yang berdakwah dengan teriakan tegas khilafah tanpa perlu politik demokrasi, ada yang berpegang bahwa untuk mencapai kekhilafahan bisa melalui system demokrasi dan politik. Gerakan mereka berbeda-beda, tetapi tujuan tetap sama. Bahkan, untuk mencapai Jakarta ada yang naik pesawat, kereta, ataupun mobil.
Lalu, dimanakah letak permasalahan antar gerakan ini? Semua gerakan itu benar selama tetap berada dalam jalur aturan Allah SWT, selama tetap dalam konteks amal ma’ruf nahi mungkar yang memang membutuhkan sistem berjamaah. Yang salah adalah apabila setiap gerakan merasa benar sendiri, dan bahkan malah menjatuhkan gerakan lain yang memang satu tujuan, satu perjuangan. Saling mengkotak- kotakkan, menganggap lawan satu sama lain. Yang satu dianggap ekstrimis, yang satu fanatik, yang lain terlalu toleran, dan sebagainya.
Contohnya dalam kasus kudeta Mursi di Mesir. Ketika itu banyak anggota Ikhwanul Muslimin yang ditangkap dan disiksa, kerusuhan dimana-mana, tetapi gerakan-gerakan lain hanya diam saja dan malah menghakimi, padahal saat itu Ikhwanul Muslimin pun sedang berusaha menegakkan khalifah dengan cara dan tahapan mereka. Ada yang bilang “Itulah mengapa kita tidak boleh berpolitik”. Ada pula yang menganggap bahwa “Apabila politik tidak berpengaruh untuk kebangkitan Islam, kenapa Mursi harus dikudeta? ”
Di Indonesia sendiri, dalam menentukan tanggal dan hari untuk Idul Fitri dan Idul Adha saja masih selalu terdapat perbedaan. Yang satu hari senin yang satu hari selasa. Padahal semua muslim berkiblat yang sama, berpatok yang sama, bertujuan sama, mengapa harus merasa paling benar? Hal seperti inilah yang membuat orang berpikiran bahwa si A adalah Islam Muhammadiyah dan si B adalah Islam NU. Padahal, sebenarnya kedua-dua nya adalah Islam. Islam yang sama-sama berpegang pada ajaran nabi Muhammad SAW dan berpegang pada al-Qur’an dan As-sunnah.
Bagaimana solusi atas permasalahan perpecahan dalam tubuh umat Islam itu sendiri? Ada tiga solusi yang dapat memperbaiki keadaan ini. Kesemua solusi ini bersumber pada satu kata, yaitu akhlak. Karena dakwah terbaik adalah dakwah melalui perbuatan, melalui teladan yang baik.
Pertama, ikhlas dan mengesampingkan hawa nafsu maupun ego. Mengapa terjadi perselisihan dan merasa paling benar? Karena memang sudah fitrah manusia mempunyai hawa nafsu yang membuat ingin selalu merasa benar, merasa paling hebat. Maka, kesampingkan lah hawa nafsu dan egoisme dan kembalikan niat dan tujuan kembali kepada Allah SWT. Seringkali perselisihan itu terjadi karena faktor-faktor pribadi dan popularitas, sekalipun dibalut dengan kepentingan Islam atau jamaah dan lain sebagainya yang tidak diketahui bahkan oleh manusia itu sendiri. Maka, jangan sampai tujuan dakwah ini menjadi terkotori karena ditunggangi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi.
Kedua, meninggalkan fanatisme terhadap individu, madzhab dan golongan. Seseorang bisa berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab, dan golongan.
Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya ada dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Lihatlah pada perkataannya, bukan siapa yang mengatakannya. “Undzur ma qola, wala tandzur man qola”. Sekalipun orang yang mengatakan adalah seorang koruptor ataupun napi, tetapi apabila yang dikatakannya adalah suatu kebenaran maka ikutilah.
Ketiga, dialog dengan cara yang baik. Allah SWT berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ”(QS. An-Nahl, 16: 125).
Ayat diatas mengajarkan tentang cara berdakwah, yakni dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan apabila terdapat bantah membantah maka bantahlah pula dengan cara yang baik. Dalam berdakwah juga harus memperhatikan objek dakwah nya. Bagaimana sifat si objek dakwah, sudah seberapa jauh kah pemahaman si objek dakwah akan Islam, dan sebagainya. Karena sifat setiap orang berbeda-beda maka cara dakwah nya pun berbeda pua. Misalkan si A tidak bisa tegur di tempat umum, si B harus dengan cara yang halus, si C harus menggunakan logika. Apabila cara berdialog atau penyampaian dakwah tersebut sesuai, maka peluang si objek dakwah menerima juga akan lebih besar.
Umat Kristen memiliki tokoh pemimpin yang diakui oleh dunia, yaitu Paus. Kepemimpinan mereka sudah terpusat, bahkan ada wilayah yang menjadi icon Kristen, yaitu Vatikan. Khilafah Turki Utsmani runtuh di tahun 1924, dan sampai sekarang belum ada tokoh pemimpin Islam yang terpusat dan diakui oleh dunia. Gerakan Islam masih terkotak-kotak, bergerak sendiri meski dengan tujuan yang sama.
Dalam sebuah perjalanan diharuskan untuk menunjuk seorang pemimpin. Apalagi dalam menyongsong kebangkitan umat. Biarlah Allah yang memilih siapakah pemimpin Islam, yang perlu dilakukan sekarang ialah bersinergi antar semua gerakan Islam untuk tujuan yang sama. Berhenti memenangkan ego dan hawa nafsu, hilangkan fanatisme atas mazhab maupun golongan, dan mulai berdialog dengan cara yang baik. Apabila semua gerakan saling bahu membahu, menolong dan bekerja sama maka akan ada jam’ah besar Islam dalam satu kekuatan yang bisa mewujudkan kebangkitan Islam itu sendiri, menolong saudara muslim di Negara lain yang sedang berperang, dan membantu untuk membebaskan nya dari penjajahan.
Disinilah letak pentingnya bersatu, berjamaah, merapatkan shaf. Supaya umat Islam tidak mudah tersulut api adu domba, tidak mudah di cerai beraikan, dapat saling merangkul dan menguatkan. Apabila ada kata lelah dan menyerah dalam berjamaah, hingga merasa ingin keluar, maka akan menjadi selelah dan semenyerah apakah apabila sendirian?
Sumber:
- Untung Wahono, MSi. (2003). Pemikiran Politik dalam Islam. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar