ansorgenteng.blogspot.co.id

ansorgenteng.blogspot.co.id

Jumat, 23 Desember 2016

Dwi Hartanto, Doktor Aerospace Engineering yang Dirayu Jadi WN Belanda

Dwi Hartanto bersama dengan B.J. Habibie di Den Haag
Pemerintah kembali memanggil para ilmuwan diaspora yang tersebar di seluruh dunia. Selama sepekan mereka diminta menularkan ilmu untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Cerita mereka sangat inspiratif.
M. HILMI S.-JUNEKA S., Jakarta
DWI HARTANTO tak menyangka ketika suatu siang, saat dirinya asyik melakukan penelitian di laboratorium kampusnya di Belanda, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Melihat nomor di layar, dia tahu bahwa nomor itu berasal dari luar.
’’Si penelepon bilang, bapak ingin bertemu. Saya sempat bingung, siapa bapak yang dia maksud,’’ cerita Dwi ketika ditemui setelah pembukaan Visiting World Class Professor, forum pertemuan diaspora dari berbagai negara, di Jakarta, Senin (19/12/2016).
Sambil memendam rasa penasaran, Dwi mencari tahu siapa ’’bapak’’ yang ingin bertemu dirinya itu. Usut punya usut, ternyata orang yang menelepon tersebut adalah petugas protokoler mantan Presiden B.J. Habibie. Dan, yang dimaksud ’’bapak’’ itu tak lain adalah B.J. Habibie sendiri.
Pria asal Yogyakarta tersebut sempat berpikir ada apa tokoh sekaliber Habibie ingin menemui dirinya. Selang beberapa lama, pertemuan dua generasi antara Dwi Hartanto dan Habibie pun terlaksana awal Desember lalu. Pertemuan nonformal dan santai itu berlangsung di sebuah restoran di Den Haag, Belanda.
Tentu saja, putra pasangan Chamdani dan Astri itu sangat bangga bisa bertemu berdua dengan salah seorang tokoh besar negeri ini tersebut. Memang, itu bukan pertemuan pertama mereka. Dwi pernah bertemu dengan Habibie sebelumnya, tapi bersama banyak orang.
Selain berbincang tentang keilmuan, Habibie meminta Dwi bersedia membantu negara meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Dwi pun menyanggupi permintaan pakar pesawat terbang tersebut. Karena itu, dia bersedia pulang untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan stakeholder pendidikan tinggi di Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Dwi juga curhat soal kegetolan pemerintah Belanda menawari dirinya paspor Negeri Kincir Angin. Sejauh ini, doktor bidang aerospace engineering itu mampu menolak dengan halus.
’’Pak Habibie bilang, kalau pemerintah Belanda masih menawari lagi, saya disuruh melapor ke beliau. Nanti beliau yang menghadapi pemerintah Belanda,’’ kenang Dwi.
Habibie mewanti-wanti agar Dwi tetap keukeuh mempertahankan prinsip kewarganegaraannya. Jangan sampai mau pindah kewarganegaraan di Belanda. Perkara bekerja untuk perusahaan internasional atau bahkan membantu pemerintah Belanda, itu sah-sah saja.
’’Kamu jangan sampai mencabut jati diri dan kewarganegaraan Indonesia-mu,’’ pesan Habibie.
Wanti-wanti suami almarhumah Ainun Habibie itu menguatkan pesan yang disampaikan orang tua Dwi. Setiap pulang ke Jogja, misalnya saat Lebaran, orang tuanya selalu berpesan supaya Dwi tidak lupa asal muasalnya.
’’Memang, di Belanda hujan emas. Tetapi, siapa yang membantu negaramu?’’ kata Dwi menirukan wejangan orang tuanya.
Pria 28 tahun yang sebentar lagi bergelar profesor itu menyatakan, besarnya tawaran berpaspor Belanda itu muncul karena riset yang dilakukan sangat sensitif. Riset-riset Dwi bersama para guru besar dari Technische Universiteit (TU) Delft selama ini menggarap bidang national security Kementerian Pertahanan Belanda, European Space Agency (ESA), NASA, Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), serta Airbus Defence.
Salah satu riset sensitif yang dia garap adalah teknologi roket untuk militer dan misi luar angkasa. Dwi juga menggarap satelit untuk riset luar angkasa serta pertahanan dan keamanan (hankam).
Dia terlibat pula dalam penyempurnaan teknologi pesawat tempur Eurofighter Typhoon generasi anyar milik Airbus Defence.
’’Riset bidang itu kan sensitif sekali jika digarap orang dari negara lain,’’ kata ilmuwan muda yang masih betah membujang tersebut.
Kasarannya, potensi untuk menjual hasil riset ke pesaing usaha atau membocorkan pertahanan Belanda ke negara lain sangat memungkinkan. Karena itulah, Dwi berkali-kali ditawari untuk pindah kewarganegaraan Belanda.
Dari riset-riset yang dilakukan, Dwi telah mengantongi tiga paten di bidang spacecraft technology. Sayang, dia terikat kontrak untuk merahasiakan paten tersebut. Dia tidak bisa membeberkan tiga paten itu karena terkait dengan program strategis.
Dia mengaku cukup dilematis saat menolak tawaran pindah kewarganegaraan tersebut. Sebab, biaya kuliah S-2 dan S-3 Dwi di TU Delft dibiayai pemerintah Belanda. Dia tidak ingin dicap sebagai ilmuan yang tidak bisa berterima kasih kepada pihak yang membiayai kuliahnya.
Sarjana Tokyo Institute of Technology itu menegaskan, dirinya tidak memiliki tips khusus saat belajar sehingga mampu meraih gelar doktor dalam usia muda. Menurut dia, kunci utamanya adalah harus memiliki interest atau ketertarikan pada bidang yang digeluti. ’’Butuh lebih dari passion,’’ ungkapnya.
Dia mencontohkan, ketika menggarap roket pada 2015, dirinya hanya sempat tidur 2–3 jam. Waktunya habis untuk melakukan riset-riset di laboratorium. Apalagi, risetnya memerlukan perhatian khusus karena terkait dengan kemampuan high qualified.
’’Sama-sama berbasis teknologi. Tetapi, mendesain motor dengan mendesain pesawat kan beda,’’ katanya.
Bekal lain yang dimiliki Dwi adalah kemampuan di bidang matematika dan fisika. Saat duduk di bangku sekolah, bungsu dua bersaudara itu memang hobi astronomi. Kemampuan menguasai matematika dan fisika itulah yang mengantarkannya menjadi calon profesor di bidang aerospace engineering dalam usia yang terbilang masih muda.
Dwi mengejar gelar profesor melalui program professorship. Program tersebut rata-rata bisa ditempuh dalam 3–5 tahun. Dia memulai program itu pada 2015. Jika semua berjalan lancar, Dwi akan meraih gelar guru besar tersebut pada usia 31–33 tahun.(batampos)

Jumat, 11 November 2016

Ketua PC GP Ansor Banyuwangi: Demokrasi Yes, Stabilitas Yes, No Bully, No Fitnah, No Pecah Belah!

BANYUWANGI – 10 November diperingati bangsa Indonesia sebagai hari Pahlawan. Sebuah wujud semangat dan kecintaan para pahlawan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mengusir penjajah pada 10 November 1945 silam.
Menghargai pengorbanan para pejuang, Ketua Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Banyuwangi, H Sukron Makmun Hidayat, mengimbau generasi muda dan seluruh elemen bangsa untuk bersatu serta terus menumbuh kembangkan semangat kepahlawanan.
“Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya, ungkapan tersebut harus benar – benar dihayati dan menjadi spirit dalam pribadi bangsa Indonesia,” katanya, Kamis (10/11/2016).
Tentang bagaimana mengimplementasikan semangat kepahlawanan di era kemerdekaan, Sukron menyebut, kuncinya adalah persatuan dan kesatuan. Kenapa demikian?. Karena diakui atau tidak, saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam sebuah kebebasan yang cukup luas.
“Keadaan ini sering saya sebut dengan ‘Demokrasi tanpa batas’, kalau kita tidak mampu dan siap menghadapainya, hal ini bisa menggerus makna kemerdekaan dan ke Indonesiaan kita,” ungkap pria yang bisa merangkul seluruh kader GP Ansor Bumi Blambangan ini.

Sistem Demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, adalah sebuah pencapaian tertinggi, tapi, masih Sukron, harus di barengi dengan ketertiban atau stabilitas bangsa yang tetap terjaga. Namun kenyataan, saat ini ibu Pertiwi sedang gelisah karena demokrasi  kita telah mengarah kepada kebebasan tanpa batas. Padahal, dalam membangun negara, sebagaimana cita - cita para pahlawan, yang dibutuhkan adalah demokrasi dan stabilitas.
“Dulu, dimasa Orde Baru, Indonesia lebih mengedapankan Stabilitas dan di era Reformasi, demokrasi selalu dikedepankan. Tapi demokrasi hari ini telah melampaui fitrah, sehingga negara ini selalu ribut dan gaduh,” ucapnya.
Dengan semangat hari Pahlawan, GP Ansor Banyuwangi mendorong seluruh pihak untuk mampu meracik demokrasi yang tertib. Yakni demokrasi yang tetap menjaga nilai – nilai luhur Pancasila.
Hari ini bisa kita saksikan, lanjut Sukron, kegaduhan demi kegaduhan serta keributan yang terus melanda bangsa ini. Penyebab utama adalah lemahnya rasa persaudaraan antar sesama warga negara akibat dari kebebasan dalam berdomkrasi yang melampaui fitrah.
Siapa saja boleh dan bebas melakukan apa saja, pecah belah ummat, membully, memfitnah dan mencaci. Bahkan, Presiden selaku pimpinan tertinggi di Indonesia, sering menjadi sasaran dan pelampiasan.
“Padahal Presiden adalah simbol negara yang harus kita jaga dan kita hormati, kalau ini dibiarkan dimana martabat dan kewibawaan negara, kini tidak ada lagi welas asih dan rasa persaudaraan, bukankah ini sangat berbahaya!,” cetus adik Bupati Abdullah Azwar Anas ini.
Dicontohkan, Pilpres, Pilgub, Pilbub dan lainya, yang dilakukan lima tahun sekali, selalu menyisakan intrik dan penistaan berkepanjangan. Bahkan sampai memasuki masa pemilihan selanjutnya. Pertanyaan yang muncul dimasyarakat, kepada siapa mereka kini harus memilih sosok teladan.
Fatalnya, kondisi tersebut juga dilihat oleh anak - anak dan generasi muda. Tentu saja, secara otomatis kondisi tersebut akan melahirkan generasi - generasi baru yang terinfeksi demokrasi tanpa batas.
Untuk itu, di hari Pahlawan, H Sukron Makmun Hidayat, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk membangun tiga landasan persaudaraan, sebagai penangkal perpecahan. Yaitu, Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan antar sesama muslim, Ukhuwah Wathaniyah atau persaudaraan antar sesama warga bangsa dan Ukhuwah Basyariyah yang merupakan persaudaraan antar umat manusia.
“Tiga prinsip di atas adalah komitmen yang perlu terus kita jaga dan diamalkan guna memupuk rasa persaudaraan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. Dan hemat kami, itu adalah bentuk kongkrit upaya kita dalam menghargai dan menghormati jasa para pahlawan yang telah berkorban di dalam meraih cita - cita kemerdekaan Indonesia,” ulas mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini.
Harapan saya, sambungnya, kepada seluruh elemen bangsa, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh politik, untuk terus menjaga, merawat dan mengisi kemerdekaan Indonesia dengan memberi contoh dan keteladanan yang baik. Selalu menanamkan jiwa patriotisme dan semangat juang yang dilandasi rasa persaudaraan. Rasa bangga pada para pemimpin dan tanah air harus tertata melekat dihati anak – anak serta generasi penerus bangsa.
“Didalam mendorong ini semua, kami sering sampaikan dan kampanyekan istilah, Demokrasi Yes, Stabilitas Yes, No Bully, No Fitnah, No Pecah Belah!,” pungkas Ketua PC GP Ansor Banyuwangi. (TIMESINDONESIA)

Selasa, 01 November 2016

60 Banser Banyuwangi Ikuti Diklat Tanggap Bencana

BANYUWANGI – Selama empat hari ke depan, 60 anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Banyuwangi, Jawa Timur digembleng di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo.
Dalam acara yang digagas bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyuwangi, tersebut mereka akan disuguhi materi tanggap bencana. Mulai dari kegunung apian, cuaca dan lainya.
“Peserta pelatihan diharapkan mampu menjadi penggerak untuk menciptakan masyarakat tangguh bencana,” ucap Satkorcab Banser PC GP Ansor Banyuwangi, Mashud, Senin (31/10/2016).
Mashud menjelaskan, peserta acara ini adalah perwakilan Banser dari seluruh Pimpinan Anak Cabang (PAC) serta dari wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) di Banyuwangi. Dengan berbekal ilmu yang didapat dari pelatihan, diharapkan mereka akan menjadi penggerak sekaligus pemotivasi hingga ke tingkat Ranting.
“Dengan begitu akan terbentuk Banser Tanggap Bencana (Bagana) hingga di masing – masing desa,” cetusnya.
Mashud menambahkan, pasca kegiatan, Bagana akan diterjunkan ke lapangan, baik dalam kondisi bencana maupun tidak. Oleh karena itu, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, peserta wajib menguasi tiga bidang kebencanaan. Mitigasi bencana, penanggulangan bencana saat bencana dan kemampuan pasca bencana.
“Pelatihannya pun ada klaster, ada pendidikan, trauma hilling, SAR daln lainya, maka diharapkan peserta mampu menguasai seluruh materi,” ungkap Sekrataris PC GP Ansor Banyuwangi, Mahbub Junaidi.
Sementara itu, Ketua PC GP Ansor Banyuwangi, H Sukron Makmun Hidayat, menegaskan bahwa pelatihan Bagana dilakukan guna menyiapkan relawan tanggap bencana yang kompeten mengingat Banyuwangi memiliki dua gunung berapi dan panjang pantai yang luas dan rawan terjadi bencana.
“Karena dalam penanganan sebuah bencana, kompetensi itu sangat dibutuhkan, dan Ansor dan Banser harus hadir menjadi relawan sebagai wujud pengabdian ke masyarakat,” cetusnya.
Kepala BPBD Banyuwangi, Kusiyadi, mengapresiasi keaktifan Banser selaku bagian dari PC GP Ansor Banyuwangi, untuk bersedia tampil sebagai relawan bencana. Maka jangan heran, momen ini benar-benar dimaksimalkan dengan mendatangkan narasumber dari instansi terkait. Diantaranya dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Tretes, Pasuruan, Badan SAR Nasional (Basarnas) Surabaya, BPBD Provinsi Jawa Timur dan lainnya.
“Kader Ansor kan tersebar disetiap kecamatan, itu sangat strategis, dan kita harapkan bisa terlibat langsung dalam kesiapsiagaan dan tanggap bencana guna pengurangan resiko bencana,” katanya. (TIMESINDONESIA)

Senin, 11 April 2016

Kumpulan foto PKD 1 PC GP Ansor Banyuwangi







 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by AnsorGenteng Online